A. APA ITU PUISI?
Di banyak kalangan, mendefinisikan puisi secara terbuka merupakan hal yang masih sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pendapat tentang puisi. Akan tetapi, perumusan tentang puisi tidak begitu penting, karena yang paling penting adalah pembaca dapat memahami dan menikmati puisi yang ada.
Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani pocima‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ dan ‘pembuatan’, karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan, atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.
Dalam Aminuddin (2002), Hudson mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi. Penggunaan kata-kata dalam puisi, tentu saja bersifat kiasan. Anggapan lain mengenai puisi adalah bahwa puisi merupakan pengungkapan perasaan (Luxemburg, et al : 1987). Jadi, menurutnya bahwa bahasa puisi itu merupakan bahasa yang berperasaan dan subjektif. Anggapan ini muncul pada zaman Romawi yang menganggap bahasa puisi lahir dari perasaan yang ada dalam penyairnya. Sehingga perasaan pada zaman tersebut menjadi pusat perhatian. Puisi mengungkapkan keadaan hati. Akan tetapi, di sisi lain, terutama dalam perkembangan puisi saat ini, terdapat jenis puisi yang tidak memperhitungkan perasaan, dalam hal ini bahasa yang digunakan sangat lugas dan mudah dipahami oleh pembacanya. Biasanya disebut puisi prosa.
Wordsworth (dalam Pradopo, 1995:6) mengemukakan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Selain pandangan tersebut, pandangan lain menjelaskan bahwa puisi adalah seni peniruan atau simbol bicara yang bertujuan untuk mengajar atau kesenangan. Puisi berupa luapan perasaan secara spontan yang bersumber dari perasaan yang berkumpul dalam ketenangan. Puisi dianggap sebagai lahar dingin yang menahan terjadinya gempa. Puisi adalah ekspresi konkret dan artistik pemikiran manusia dalam bahasa yang emosional yang berirama. Puisi adalah ekspresi pengalaman yang bernilai dan berarti sederhana dan disampaikan dengan bahasa yang tepat. Puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat menafsirkan dalam bahasa yang berirama (Tang, 2007). Adapun batasan puisi menurut Waluyo (1987:25) menyatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batin.
B. MACAM-MACAM PUISI
Melengkapi pengertian puisi di atas, pada bagian ini akan diuraikan tentang macam-macam puisi. Waluyo (1987) membagi puisi menjadi sepuluh macam, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut.
1. Puisi naratif, lirik, dan deskriptif
Pembagian puisi ini didasarkan atas cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan.
1. Puisi naratif , yaitu puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair (berisi cerita). Balada adalah puisi yang berisi cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Romansa adalah jenis puisi cerita yang mengungkapkan bahasa romantik yang berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah percintaan mereka lebih mempesonakan.
2. Puisi lirik , yaitu penyair mengungkapkan gagasan pribadinya. Jenis puisi lirik misalnya, elegi, ode, dan serenada. Serenada ialah sajak yang dapat dinyanyikan. Kata ”serenada” berarti nyanyian yang tepat dinyanyikan pada waktu senja. Ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau keadaan.
3. Puisi deskriptif, yaitu jenis puisi yang mengungkapkan tindakan penyair sebagai pemberi kesan terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi ini misalnya, puisi-puisi impresionostik, satire, dan kritik sosial. Satire adalah puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya. Kritik sosialadalah puisi yang juga menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap suatu keadaan atau seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan keadaan/orang tersebut.
2. Puisi kamar dan puisi auditorium
Puisi-puisi auditorium disebut juga puisi Hukla (puisi yang mementingkan suatu atau serangkaian suatu). Puisi kamar ialah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja dalam kamar. Sedangkan puisi auditorium adalah puisi yang cocok untuk pembaca di auditorium, di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat ratusan orang. Puisi
auditorium disebut juga puisi oral karena cocok untuk dioralkan.
3. Puisi fisikal, platonik, dan metafisika
Pembagian puisi ini berdasarkan sifat dari isi yang dikemukakan dalam suatu puisi. Puisi fisikal bersifat realistis artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Puisi platonik adalah puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual dan kejiwaan. Puisi metafisikal adalah puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan Tuhan. Puisi relegius di satu pihak dapat dinyatakan sebagai puisi platonik (menggambarkan ide atau gagasan penyair) di lain pihak dapat disebut sebagai puisi metafisik (mengajak pembaca merenungkan hidup, kehidupan, dan Tuhan).
4. Puisi subyektif dan puisi obyektif
Puisi subyektif (puisi personal) adalah puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Adapun puisi obyektif adalah puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri.
5. Puisi konkret
Puisi konkretadalah puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk dari sudut penglihatan. Bentuk konkret tersebut dapat berupa bentuk grafis, kaligrafi, ideogramatik, atau puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menunjukkan pengimajian kata lewat bentuk grafis. Puisi konkret ada yang berbentuk segitiga, kerucut, belah ketupat, piala, tiang lingga, bulat telur, spidle, ideografik, dan ada juga yang menunjukkan lambang tertentu.
6. Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis
Puisi diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret, dan bahasa figuratif, sehingga puis ini mirip dengan bahasa sehari-hari. Adapun puisi prismatis justru sebaliknya. Dalam puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, verifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa
sehingga pembaca tidak terlalu gelap. Pembaca tetap dapat menelusuri makna. puisi itu. Namun, makna itu bagaikan sinar yang keluar dari prisma.
7. Puisi parnasian dan puisi inspiratif
Puisi parnasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasarkan oleh inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. Adapun puisi inspiratif diciptakan berdasarkan mood. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat ke dalam puisi.
8. Stansa
Stansa berarti puisi yang terdiri atas 8 baris. Stansa berbeda dengan oktaf karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris. Aturan pembarisan dalam oktaf adalah 8 baris untuk tiap bait, sedangkan dalam stansa seluruh puisi terdiri atas 8 baris.
9. Puisi demonstrasi dan pamflet
Puisi demonstrasi menyaran pada puisi-puisi Taufik Ismail dan mereka yang Jassin disebut Angkatan 66. Puisi ini melukiskan dan merupakan hasil refleksi demonstrasi para mahasiswa dan pelajar – KAMMI-KAPPI – sekitar tahun 1966. Menurut Subagio Sastrowardoyo, puisi-puisi demonstrasi 1966. bersifat kekitaan, artinya melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan individu.
Puisi pamflet adalah puisi yang bahasanya menggunakan bahasa pamflet. Puisi ini juga mengungkapkan protes sosial. Kata-kata dalam puisi ini mengungkapkan rasa tidak puas pada keadaan. Kata-kata tersebut muncul tanpa melalui proses pemikiran atau perenungan yang mendalam.
10 Alegori
Puisi yang mengungkapkan cerita dengan maksud untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal adalah parabel yang juga disebut dengan dongeng perumpamaan.
C. APRESIASI PUISI
Puisi selalu terkait dengan emosi, pengalaman, sikap, dan pendapat-pendapat tentang situasi atau kejadian yang ditampilkan secara abstrak atau implisit. Oleh karena itu, pemahaman sebuah puisi juga diperlukan keterlibatan emosi, pengalaman estetis, dan intuisi-intuisi. Bekal semacam itu akan menolong siswa untuk menikmati puisi. Di sinilah letak strategi puisi yang ibarat sebuah tanaman mempesona, penuh arena bermain, penuh hiburan, dan penuh keindahan alamiah yang anggun. Dampaknya, tentu pembelajaran tetap akan berjalan dengan baik tanpa membuat siswa mengawang dalam belajar, melainkan menikmati.
Terkait dengan hal tersebut, Aftaruddin (dalam Endaswara, 2005) menyatakan bahwa ’peristiwa besar’ menikmati puisi pada hakikatnya menghayati suatu pengalaman secara intens, secara mendalam. Pembelajaran tidak sekadar membaca huruf-huruf, tapi menempatkan diri sebagai pencipta sehingga antara penikmat dengan penyair seakan-akan tidak ada jarak. Konteks itu menghendaki pembelajaran yang sungguh-sungguh ada keterlibatan jiwa, tetapi tetap tidak membuat jiwa tegang. Bahkan, diharapkan pembelajaran tersebut menjadi sebuah momen refreshing.
Suatu istilah yang sering rancu dalam pembelajaran puisi adalah ihwal pengkajian. Pembelajaran puisi tidak menolak pengkajian, namun, ada beberapa perbedaan, dalam pengkajian puisi lebih diarahkan pada penyelidikan, apresiasi lebih menuju ke arah pemahaman. Pemahaman lebih banyak terkait dengan aspek pragmatik penikmatan dan bukan sekadar membedah isi puisi secara mekanik seperti lazimnya seorang peneliti puisi.
Dengan modal nikmat, siswa akan paham, karena dalam kejiwaan mereka timbul penghayatan dan pengenalan terhadap puisi. Satu hal yang penting dalam apresiasi puisi adalah bukan hasil (nilai), bukan pula yang telah hafal judul-judul dan pencipta puisi. Namun, apresiasi puisi adalah proses pemahaman dan pengenalan yang tepat; pertimbangan dan penilaian serta pernyataan yang memberikan penilaian terhadap puisi.Oleh sebab itu, Atmazaki (1993) memberikan penegasan bahwa apresiasi adalah kegiatan: (1) untuk merespon suatu (puisi), melakukan kontak sehingga ada efek, resepsi, dan persepsi, dan (2) memberikan pertimbangan terhadap sesuatu untuk memberikan penilaian.
D. PEMAKNAAN BENTUK LEWAT SEMIOTIKA
Dalam teks, semiotika dipandang sebagai sebuah realitas yang dihadirkan di hadapan pembaca yang mengandung potensi komunikatif. Pemilikan potensi komunikatif ditandai dengan digunakannya lambang-lambang kebahasaan di dalamnya, berupa lambang artistic yang berbeda dengan lambang kebahasaan lainnya.
Upaya pemahaman terhadap lambang teks sastra tersebut sangat beragam. Akan tetapi, sesuai dengan terdapatnya empat dimensi dalam teks sastra, yakni 1) sastra sebagai kreasi ekspresi, 2) sastra sebagai pemapar realitas, 3) sastra sebagai kreasi penciptaan yang menggunakan media berupa bahasa, dan sastra sebagi teks yang memiliki potensi komunikasi dengan pembaca.
Pierce seorang pelopor semiotika membedakan lambang atas tiga bentuk yakni, 1) ikon, yakni bilaman lambang tersebut sedikit banyaknya menyerupai apa yang dilambangkan, seperti foto dari seseorang atau ilustrasi, 2) indeks, yakni bila lambang itu masih mengasosiasikan adanya hubungan dengan lambang yang lain, misalnya rokok dengan api, 3) simbol, yakni bila secara arbitrer maupun konvensional, lambang itu masih menunjuk pada referen tertentu dengan acuan makna yang berlainan.
E. PEMAHAMAN LAPIS MAKNA PUISI
Aminuddin mengungkapkan bahwa lapis makna adalah unsur yang tersembunyi di balik struktur bangun. Unsur lapis makna sulit dipahami sebelum seorang pembaca bisa memahami bangun struktur puisi tersebut. Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual.
Berikut ini diuraikan struktur yang membangun fisik yang terdiri atas dua jenis yakni sebagai berikut:
1. Struktur batin puisi (Hakikat puisi)
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan puisi. I. A. Richards (dalam Waluyo, 1987) menyebut makna atau struktur batin dengan istilah hakikat puisi. Ada empat unsur hakikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention).
a. Tema
Tema adalah gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran tersebut menguasai jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Tema harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh karena itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat). Ada beberapa macam tema sesuai dengan Pancasila, yaitu: tema ketuhanan, tema kemanusiaan, tema patriotisme/kebangsaan, dan tema keadilan sosial.
b. Perasaan penyair (feeling)
Perasaan penyair (feeling) merupakan faktor yang mempengaruhi dalam penciptaan puisi. Suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Dalam mengungkapkan tema yang sama, antara penyair yang satu akan berbeda dengan penyair yang lain, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda.
c. Nada dan suasana
Dalam apresiasi puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca inilah yang disebut nada puisi. Adapun yang dimaksud dengan suasana dalam puisi adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada menimbulkan puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya.
d. Amanat (pesan)
Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisi. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang diberikan penyair.
2. Struktur fisik puisi (Metode puisi)
Adapun unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar puisi. Berikut akan diuraikan lebih lanjut.
a. Diksi (pilihan kata)
Seorang penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rimadan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu.
b. Pengimajian
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.
c. Kata konkret
Untuk membangkikan imaji (daya bayang), maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyaran pada arti yang menyeluruh.
d. Bahasa figuratif (majas)
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berfigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.
e. Verifikasi (rima, ritma, dan metrum)
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestra. Dengan pengulangan bunyi itu puisi menjadi merdu jika dibaca. Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritme berbeda dengan metrum. Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap. Metrum sifatnya statis (Waluyo, 1987).
F. DEKLAMASI PUISI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK APRESIASI PUISI
Sebuah puisi barulah terasa keindahannya jika dibaca dengan irama yang baik. Irama ini akan jelas menonjol pada saat puisi tersebut dideklamasikan. Deklamasi berasal dari bahasa Latin yaitu declamare atau declaim yang memiliki arti membaca suatu hasil sastra yang berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu (Situmorang, 1974). Gerak yang dimaksudkan ialah gerak alat bantu yang puitis, yang seirama dengan isi bacaan.
Tentang pengertian deklamasi, Syahril Adlar dalam bukunya Deklamasi mengemukakan beberapa rumusan (1) Ajip Rosidi menyatakan ”Seni deklamasi ialah suatu seni sastra lisan yang disertai dengan gaya, mimik, intonasi, tempo, dan interpresi yang baik. (2) M. Hussyn Umar menyatakan: ”Seni deklamasi ialah seni menafsirkan kembali ciptakan seseorang yang disertai ekspresi, mimik, dan irama yang baik.” (3) Abdul Muthalib menyatakan: ”Seni deklamasi ialah seni menyatakan kembali ciptaan seseorangdengan keselurhan jiwa disertai irama tanpa nada dan berusaha lebih mendekatkan isi/maksudnya kepada pendengarnya” (Situmorang, 1974). Dari uraian-uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa deklamasi itu pasti maksudnya adalah mengucapkkan sebuah prosa atau puisi (bentuk yang paling umum di Indonesia ialah puisi) dengan cara sebaik-baiknya dengan memperhatikan syarat-syarat seperti diuraikan di bawah ini.
1. Pemahaman. Seorang pendeklamasi yang belum paham isi/maksud sebuah puisi tidak akan mungkin dapat mendeklamasikan puisi tersebut dengan baik.
2. Peresapan. Sebuah puisi yang akan dideklamasikan haruslah diresapkan benar-benar dalam hati hingga seakan-akan menjadi milik si pendeklamasi sendiri. Pendeklamasi bertugas sebagai juru bicara yang harus dapat meyakinkan dan menikmatkan hati si pendengar. Oleh karena itu, tanpa peresapan yang baik dan meyakinkan tidak mungkin akan dapat menikmatkan hati pendengar
3. Ekspresi. Pendeklamasi harus memantulkan puisiitu pada pendengarnya. Berhasil tidaknya usaha yang dilakukan pendeklamasi untuk menikmatkan hati orang lain, tergantung sampai mana kemampuannya mengekspresikan puisi itu. Terkait dengan ekspresi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, yaitu daya hafal, pengucapan, irama, batas sintaksis, mimik, dan gerak gerik.
Daya hafal. Sebuah deklamasi sebenarnya dapat dilakukan dengan mempergunakan catatan. Akan tetapi mempergunakan catatan akan sangat sering mengganggu sebab dengan jalan berulang-ulang pendeklamasi melihat ke arah catatannya, akan berakibat yang luas, yakni maksud puisi tersebut dan juga berakibat pendengar akan terganggu. Oleh karena itu, sebaiknya pendeklamasi puisi harus mempunyai daya hafal yang sebaik-baiknya.
1. Salah satu hal yang sangat penting mendapatkan perhatian pada setiap kesempatan berdeklamasi adalah ucapan. Pengucapan dalam berdeklamasi haruslah dijaga semurni dan sebaik mungkin, jangan terlampau dipengaruhi oleh ucapan bahasa daerah atau sekali-kali jangan pula mengarah pada ucapan bahasa asing. Dalam hubungan inilah pengucapan tidak dapat dipisahkan dari intonasi. Dari ucapan dan intonasi seseorang akan dengan cepat memberi petunjuk, apakah seseorang cocok untuk berdeklamasi atau tidak.
Irama. Irama merupakan faktor yang utama untuk menghidupkan puisi sebab irama merupakan jiwa pendeklamasian puisi. Tanpa irama yang baik, pastilah seorang pendeklamasi tidak akan mungkin berhasil dalam deklamasi. Dalam hal ini, seorang pendeklamasi harus tahu pada bagian mana suara perlu dikeraskan, ditinggikan, atau dilambatkan.
Batas sintaksis. Batas perhentian suara (sintaksis) ini sangat penting agar jelas pada bagian-bagian mana seseorang berhenti untuk menarik nafas, hingga pokok-pokok pikiran dalam puisi itu jelas dikemukakan. Jadi, sebelum mendeklamasikan puisi harus ditandai lebih dahulu dimaksud penciptanya tidak menjadi kacau-balau.
Mimik. Setelah puisi itu benar-benar meresap ke dalam jiwa seseorang pendeklamasi akan dengan mudah terlihat dari mimiknya. Jadi, mimik merupakan petunjuk apakah seseorang sudah benar-benar dapat menjiwai atau meresapkan puisi itu dengan sebaik-baiknya. Harmonisasi antara mimik dengan isi (maksud) puisi merupakan puncak keberhasilan sebuah deklamasi.
Gerak-gerik dalam deklamasi walaupun bukan keharusan tapi sangat sering menolong untuk menjiwai dan menghidupkan sebuah puisi (Situmorang, 1974).
Pada saat mendeklamasikan puisi akan muncul rasa emosionil –artistik. Hampir semua siswa akan tergugah rasa emosionil – artistiknya bila mendengar sebuah deklamasi yang berhasil dibawakan di depan kelas. Hal itu terlihat dari tepuk tangan yang riuh dan wajah mereka yang merasa puas bila seorang temannya dengan indah mendeklamasikan sebuah puisi.
Memang tidak semua siswa dapat mendeklamasikan puisi dengan baik tapi pastilah jika guru membimbing mereka, paling tidak siswa-siswa dapat menghargai dan menikmati sebuah puisi yang berhasil dideklamasikan (Situmorang, 1974).