Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, yaitu : Nilai, Moral dan Sikap.
Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
Pengertian Nilai
Menurut kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian.
Menurut Ahli
Menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu.
Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.
Menurut Harrocks nilai adalah sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial untuk membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Menurut Prof. Sinolungan dalam buku psikologi perkembangan peserta didik nilai adalah suatu yang diyakini kebenarannya, dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta diwujudkan dalam sikap atau perilakunya.
Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.
Jenis – Jenis Nilai
Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:
Nilai teori atau nilai keilmuan (I)
Mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang yang bekerja terutama atas dasar pertimbangan rasional.
Nilai Ekonomi (E)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan ada tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya.
Nilai Sosial atau Nilai Solidaritas (Sd)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri, baik berupa keberuntungan atau ketidakberuntungan.
Nilai Agama (A)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu dipandang benar menurrut ajaran agama.
Nilai Seni (S)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok atas dasar pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.
Nilai Politik atau Nilai Kuasa (K)
Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan baik buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya
2. Pengertian Moral Dan Moralitas
Istilah moral berasal dari bahasa Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar.
Secara umum, moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial.
Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
3. Pengertian Sikap
Menurut Fishbein (1975)
Sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons/reaksi terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.
Menurut Chaplin (1981)
Dalam Dictionary of Psychology Chaplin menyamakan sikap dengan pendirian. Chaplin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa dari tingkah laku individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.
Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.
Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk perkembangan sikap individu.
Skala Sikap
Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penafsiran dan penilaian sikap.
Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama dan dikenal sangat luas, yaitu:
Skala Likert
Dalam skala ini disajikan satu seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian responden diukur sikapnya untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban yang telah disediakan. Yaitu:
Sangat setuju
Setuju
Ragu-ragu/netral
Tidak setuju, dan
Sangat tidak setuju.
2. Skala Thurstone
Dalam skala ini terdapat sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda dan responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih sedemikian rupa sehingga tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang sangat menyenangi sampai yang sangat tidak menyenangkan.
Hubungan Antara Nilai, Moral Dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu. Moral merupakan pilihan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya.
Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga, yaitu:
Id atau Das Es
Ego atau Das Ich
Super Ego atau Da Uber Ich.
Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan dan menghindari kesakitan.
Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugas utama Ego adalah mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar.
Superego adalah sumber moral dalam kepribadian. Superego adalah kode moral individu yang tugas utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena superego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.
Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Pola Perkembangan Moral Menurut Para Ahli
Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget
Dari hasil studi yang dilakukan, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka, antara lain:
Heteronomous Morality
Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia. Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku.
Misalnya, memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.
Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah.
Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.
Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.
Autonomous Morality
Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya.
Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting.
Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan.
Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.
Piaget berpendapat bahwa dalam berkembang anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerjasama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi antara orangtua dan anak, orangtua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter.
2. Perkembangan Moral Menurut Lawrence E. Kohlberg
Kajian Kohlberg adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning. Keenam tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Tingkat Pra-Konvensional
Pada tingkat ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka) kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi (orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya). Pada taraf ini terdiri dari dua tahapan yaitu:
Tahap 1 : punishment and obedience orientation (orientasi hukuman dan kepatuhan)/(Moralitas heteronom)
Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara buta pada yang berkuasa dianggap bernilai pada dirinya sendiri.
Tahap 2 : Instrument-relativist orientation.
Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar (untung-rugi). Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.
2) Tingkat Konvensional (Conventional Level)
Pada tingkat ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri. Anak tidak hanya mau berkompromi, tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban sosial. Dua tahap dalam tingkat ini adalah:
Tahap 3 : interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation.
Tingkah laku yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Supaya diterima dan disetujui orang lain seseorang harus berlaku “manis”. Orang berusaha membuat dirinya wajar seperti pada umumnya orang lain bertingkah laku. Intensi tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda dari pelaksanaanya sudah diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya yang hampir mati dianggap berintensi baik.
Tahap 4 : law and order orientation.
Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban sosial dijunjung tinggi dalam tahap ini. Tingkah laku disebut benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial.
3) Tingkat pasca konvensional (Postconventional Level)
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana. Tahapannya adalah:
Tahap 5 : Social contract orientation.
Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya suatu tindakan atas hak-hak individu dan norma-norma yang sudah teruji di masyarakat. Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relatif, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu konsensus bersama.
Tahap 6 : The universal ethical principle orientation.
Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati. Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat abstrak. Pada intinya prinsip etis itu adalah prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi.
Berdasarkan tingkatan dan tahapan perkembangan moral kohlberg, menerjemahkannya ke dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan harapan perkembangan moral, motif-motif perilaku moral manusia adalah sebagai berikut:
Tahap 1: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati yang pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
Tahap 2: perbuatan moral individu dimotivasikan oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis (membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau rasa sakit dari akibat hukuman).
Tahap 3: perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.
Tahap 4: perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa bersalah diri atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.
Tahap 5: perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi, keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri (misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten, dan tanpa tujuan).
Tahap 6: perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan rasa hormat dari diri sendiri. Selain itu juga dibedakan antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai rasionalitas dan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip moral.
Perkembangan moral Kohlberg memiliki sifat/karakter khusus, diantaranya:
Perkembangan setiap tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti si anak dari tahap pertama berlanjut ke tahap kedua.
Bahwa orang (anak) hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap diatas tahap dimana ia berada.
Bahwa orang secara kognitif memiliki ketertarikan pada cara berfikir satu tahap diatas tahapnya sendiri.
3. Perkembangan Moral Menurut Gilligan
Fokus penelitian Gilligan adalah tanggungjawab membantu, tidak membebani, dan tidak menyakiti orang lain. Keadilan dan kesesamaan menjadi dasarnya. Gilligan lebih mementingkan wanita dibanding Kohlberg yang mementingkan lelaki. Gilligan melihat perkembangan moral adalah sama dengan Kohlberg yaitu dalam 3 peringkat, namun skema perkembangan moralnya berbeda, seperti di bawah ini:
Prakonvensional
Pada tahap ini, seseorang hanya tertumpu pada diri sendiri saja. Apa yang penting adalah memenuhi segala keperluan sendiri. “Tindakan betul” dilihat sebagai tindakan yang menguntungkan diri sendiri.
Konvensional
Pada tahap ini, seseorang melihat keperluan orang lain sebagai lebih penting daripada keperluan diri sendiri. Berbuat baik bermakna bertanggungjawab dan “tindakan betul” adalah suatu pengorbanan diri bagi kepentingan orang lain.
Pascakonvensional
Pada tahap ini, seseorang memberi perhatian yang seimbang antara keperluan diri dengan tujuan mengekalkan hubungan yang sudah ada.
Perkembangan Moral Urie Bronsfenbrenner
Urie Bronfenbrenner yang melakukan pendekatan kultur/budaya dalam teorinya, menyusun tahap orientasi moral yang berbeda dengan Kohlberg. Dia memberikan lima (5) orientasi moral, yaitu:
1. Moralitas berorientasi diri (self-oriented morality)
Pada tahap moralitas berorientasi diri serupa dengan tahap prakonvensional Kohlberg. Pada dasarnya, anak hanya tertarik pada pemuasan diri dan hanya memikirkan orang lain dalam batas mereka dapat membantu memberikan apa yang diinginkan atau dibutuhkannya.
2. Moralitas berorientasi otoritas (authority-oriented morality)
Tiga orientasi selanjutnya merupakan bentuk moralitas konvensional Kohlberg. Pada tahap moralitas berorientasi otoritas, anak telah menerima tokoh otoritas, baik orangtua, kepala negara, pemuka agama, atau lainnya, yang mendefinisikan apa yang baik dan yang buruk.
3. Moralitas berorientasi rekanan (peer-oriented morality)
Moralitas berorientasi rekanan pada dasarnya merupakan bentuk kepatuhan moral, dimana baik atau salah ditentukan bukan oleh otoritas, melainkan oleh teman sebaya.
4. Moralitas berorientasi kolektif (colletive-oriented morality)
Moralitas berorientasi kolektif, tujuan kelompok yang dimiliki seseorang lebih penting dari kebutuhan individu.
5. Moralitas berorientasi tujuan (objectively-oriented morality)
Sedangkan moralitas berorientasi tujuan setara dengan tingkatan pascakonvensional Kohlberg. Tujuan menurut Bronfenbrenner, merupakan prinsip universal yang tidak tergantung pada individu atau kelompok sosial, melainkan pada realitas keseluruhan yang mereka punyai.
No Tingkat Umur Nama Karakteristik
1 Tingkat 1 ( 0-9 thn ) Prakonvensional
Tahap 1 Moralitas heteronomi
(orientasi kepatuhan dan hukuman) Melekat pada aturan
Tahap 2
Individualisme/
instrumentalisme
(orientasi minat pribadi)
Kepentingan nyata individu. Menghargai kepentingan oranglain
2
Tingkat 2
9-15 thn
Konvensional
Tahap 3
Reksa interpersonal
(orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (sikap anak baik)).
Mengharapkan hidup yang terlihat baik oleh orang lain dan kemudian telah menganggap dirinya baik.
Tahap 4
Sistem sosial dan hati nurani (orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (moralitas hukum dan aturan))
Memenuhi tugas sosial untuk menjaga sistem sosial yang berlangsung.
3.
Tingkat 3
Diatas 15 thn
Pascakonvensional
Tahap 5
Kontrak sosial
Relatif menjungjung tinggi aturan dalam memihak kepantingan dan kesejahteraan untuk semua.
Tahap 6
Prinsip etika universal
Prinsip etis yang dipilih sendiri, bahkan ketika ia bertentangan dengan hukum
Bronfenbrenner mencatat bahwa tahap 1 ditemukan pada semua anak dan juga orang dewasa pada semua budaya, sementara tahap 5 hanya terdapat pada sedikit orang dewasa pada setiap budaya. Perbedaan tahap 2,3 dan 4 lebih disebabkan budaya dari pada perkembangan.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap
Secara umum factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu di bagi menjadi dua, yaitu:
Faktor internal (endogen), yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu seperti komponen hereditas (keturunan), dan konstitusi.
Factor eksternal (eksogen), yaitu faktor yang berasal dari luar individu, seperti lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan geografis.
Namun dalam hubungannya dengan perkembangan nilai, moral dan sikap, faktor yang paling berpengaruh adalah faktor yang berasal dari luar individu (faktor eksternal).
Perkembangan moral seseorang banyak dipengaruhi oleh lingkungan dimana orang tersebut hidup. Karena tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian seseorang tidak akan berkembang. Lingkungan disini dapat berarti keluarga (orang tua), sekolah, teman-teman dan masyarakat.
Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar mereka tidak mampu mengembangkan moralnya sehingga mereka terbiasa menjadi orang yang sering melakukan pelanggaran norma.
Anak/remaja memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orang tuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral anak, peran orang tua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Menurut Adam dan Gullotta, terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :
Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orangtua.
Ibu-ibu dari remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal.
Terdapat dua faktor yang dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja, yaitu: orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai berbagai isu, dan orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif.
Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, diantaranya sebagai berikut :
Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.
Sikap orang tua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggungjawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis).
3) Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku seperti orangtuanya.
Lingkungan Sekolah
Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik. Dalam pengembangan kepribadian, faktor lingkungan pergaulan juga turut mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang saat dia menginjak usia remaja dan dewasa. Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan terkadang seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya.
Pendidikan moral di sekolah antara lain :
Hendaknya dapat diusahakan supaya sekolah menjadi lapangan yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak didik.
Pendidikan agama, haruslah dilakukan secara intensif
Hendaknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran (baik guru, pegawai , buku, peraturan dan alat-alat) dapat membawa anak didik kepada pembinaan mental yang sehat.
Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri untuk pelanggar-pelanggarnya.
Pendidikan moral di masyarakat antara lain :
Sebelum menghadapi pendidikan anak, maka masyarakat yang telah rusak moralnya diperbaiki terlebih dahulu.
Mengusahakan supaya masyarakat, termasuk pemimpin dan penguasanya menyadari betapa pentingnya masalah pendidikan moral anak.
Supaya segala media massa, terutama siaran radio dan TV., memperhatikan setiap macam uraian, pertunjukan, kesenian dan ungkapan tidak boleh bertentangan dengan agama.
Perkembangan Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh: internet memiliki fasilitas yang menawarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.
Nilai positif dari perkembangan teknologi yaitu ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap informasi seperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya individu yang tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan.
Pendekatan-Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach)
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama yaitu :
Membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.
Mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutnya dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:
Tahap “premoral” atau “preconventional”. Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
Tahap “conventional”. Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
Tahap “autonomous”. Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach)
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach)
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan “moral reasoning” dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.
4 Elemen Penting Dalam Perkembangan Moral
Peran Hukum, kebiasaan/tata krama
Elemen pertama yang penting dalam belajar menjadi individu yang bermoral adalah belajar apa yang diharapka kelompok. dalam setiap kelompok sosial beberapa prilaku dapat dianggap benar atau salah karena berkaitan dengan kesejahteraan anggota kelompoknya.
Peran kata hati
Kata hati merupakan kontrol internal terhadap tingkah laku seseorang. tidak ada anak yag lahir dengan kata hati tertentu dan setiap anak tidak hanya belajar mengenai apa yang benar dan apa yang salah, tetapi anak harus menggunakan kata hatinya sebagai kontrol terhadap tingkah lakunya.
Peran rasa bersalah dan malu
Ausubel (dalam Hurlock, 1978) mengemukakan bahwa rasa bersalah merupakan mekanisme psikologis yang penting, dimana perilaku seseorang menjadi sesuai dengan kebudayaannya.
Peran interaksi sosial
Interaksi sosial memegang peran penting dalam perkembangan moral anak karena dapat memberikan dasar-dasar dari tingkah laku yang diterima masyarakat, memberikan motivasi melalui apa yang diterima dan tidak diterima kekelompok.
Proses Terbentuknya Moral Dan Sikap
Berikut ini beberapa proses pembentukan perilaku moral dan sikap anak :
1. Imitasi
Pada umumnya anak mulai mengadakan imitasi atau peniruan sejak usia 3 tahun, yaitu meniru perilaku orang lain yang ada di sekitarnya. Anak perempuan meniru perilaku Ibu, kakak perempuan dan orang lain dirumah, demikian pula anak laki-laki suka meniru perilaku ayah, kakak atau tetangganya yang sering dijumpai di sekitarnya. Sering kali anak tidak hanya meniru perilaku misalnya gerak tubuh,rasa senang atau tidak senang,sikap orang tua terhadap agama, politik, hobi dll
2. Internalisasi
Internalisasi adalah suatu proses yang merasuk pada diri seseorang (anak)
Karena pengaruh sosial yang paling mendalam dan paling langgeng dalam kehidupan orang tersebut.
3. Introvert dan Ekstrovert
Introvert adalah kecenderungan seseorang untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya, minat, sikap atau keputusan-keputusan yang diambil selalu berasal berdasarkan pada perasaan, pemikiran, dan pengalaman sendiri. Orang-orang yang berkecenderungan introvert biasanya bersifat pendiam dan kurang bergaul.
Ekstrovert adalah kencederungan seseorang untuk mengarahkan perhatian keluar dirinya, sehingga segala minat, sikap dan keputusan-keputusan yang di ambil lebih banyak di ambil oleh orang lain atau berbagai peristiwa yang terjadi di luar dirinya.
4. Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan seseorang untuk berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain baik dalam bentuk material maupun moral. Sedangkan kemandirian pada anak sering di kaitkan dengan kemampuan anak untuk melakukan segala sesuatu berdasarkan kekuatan sendiri tanpa bantuan orang dewasa.
5. Ketergantuangan
Ketergantungan di tandai dengan perilaku anak yang bersifat kekanak kanakan perilakunya tidak sesuai dengan anak lain yang sebayanya. Dengan kata lain anak tersebut tidak memiliki kemandirian yang mencakup fisik atau mental dan perilakunya berlainan dengan anak normal.
6. Bakat
Bakat merupakan potensi dalam diri seseorang yang dengan adanya rangsangan tertentu memungkinkan orang tersebut dapat mencapai sesuatu tingkat kecakapan, pengetahuan dan ketrampilan khusus yang sering kali melebihi orang lain.
Upaya-Upaya Dalam Mengembangkan Nilai, Moral Dan Sikap
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,moral dan sikap anak/remaja adalah berikut:
Menciptakan komunikasi.
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya memberikan evaluasi, tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif dalam beberapa pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga, teman sepergaulan, serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya anak diberi kesempatan untuk kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak berperan secara aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Anak tidak hanya harus mendengarkan tetapi juga harus dirangsang agar lebih aktif. Misalnya mengikutsertakan ia dalam pengambilan keputusan di keluarga dan pemberian tanggung jawab dalam kelompok sebayanya. Karena nilai-nilai kehidupan yang dipelajari barulah betul-betul berkembang apabila telah dikaitkan dalam konteks kehidupan bersama.
2. Menciptakan iklim lingkungan yang serasi.
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan secara positif, jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut.
Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jati dirinya. Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas diri, kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa ini. Nilai-nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengatur tingkah laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu lingkungan yang lebih bersifat mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya larangan- larangan yang bersifat serba membatasi.
Cara-Cara Membentuk Moral
Menerapkan disiplin sejak dini
Disiplin penting bagi perkembangan moral anak karena berisi hal-hal yang diperlukan anak dalam penyesuaian sosial dan pribadi mereka. Beberapa kebutuhan anak yang dapat dipenuhi melalui disiplin adalah sebagai berikut :
Disiplin membuat anak-anak mempunyai perasaan aman tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Anak belajar mengapa pola perilaku tertentu diterima dan mengapa pola perilaku lain tidak diterima.
Melalui disiplin anak-anak dibantu untuk hidup sesuai dengan norma-norma sosial. Anak-anak belajar berperilaku dengan cara tertentu yang dapat memperoleh pujian, dimana anak-anak mengartikan sebagai dicintai-diterima. Hal ini mendorong anak untuk mengulang perilaku yang baik.
Anak-anak pun akan mengembangkan kata hati untuk membuat keputusan dan pengendalian dari perilakunya.
Pemberian Penghargaan atau Hadiah
Penghargaan atau hadiah adalah bentuk apresiasi terhadap suatu prestasi yang dicapai oleh individu/anak dalam aktivitas tertentu. Pada umumnya hadiah atau penghargaan diberikan setelah anak mencapai prestasi atau menghasilkan sesuatu yang dapat dibanggakan oleh teman, guru, orang tuanya sendiri. Pemberian penghargaan hendaknya bervariasi sehingga anak tidak selalu mengharapkan hadiah.
Bentuk penghargaan ada 2 macam, yaitu:
berbentuk nonverbal seperti: senyuman, pelukan, pujian dll.
berbentuk verbal seperti: pemberian hadiah.
Ada 3 fungsi penghargaan atau hadiah antara lain :
Memiliki nilai pendidikan
karena pemberian penghargaan menunjukkan bahwa tingkah laku anak adalah yang sesuai dengan apa yang diharapkan lingkungannya (guru/orang tuanya).
Memberikan motivasi kepada anak
Fungsi kedua hadiah adalah agar dapat memberikan motivasi kepada anak untuk dapat mengulangi prilaku yang dapat diterima bahkan dapat ditingkatkan lebih baik lagi. Di samping itu hadiah juga dapat mendorong anak untuk mencapai prestasi lebih tinggi lagi.
Memperkuat prilaku
Hadiah yang diberikan kepada anak juga berfungsi untuk memperkuat prilaku anak yang dapat diterima lingkungannya. Ini berarti menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri dan pemahaman bahwa sesuatu yang dilakukannya tersebut benar dan diakui kebenarannya oleh lingkungannya (keluarga/sekolah).
Pemberian Hukuman
Hukuman merupakan sanksi fisik maupun psikis terhadap suatu kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak dengan sengaja. Kesalahan/pelanggaran tersebut disebabkan oleh belum adanya pemahaman anak terhadap moral. Dengan hukuman, anak belajar mengapa ia dihukum dan anak akan lebih memahami mengapa perbuatan yang dilakukan itu salah. Adanya hukuman membuat anak tidak akan mengulangi perilaku yang salah tersebut sehingga anak belajar tentang baik buruk perilakunya.
Fungsi hukuman antara lain:
1. Fungsi restriktif
Nilai restriktif juga dapat berfungsi sebagai pembatasan agar anak tidak mengulangi perbuatan kesalahan yang sama di kemudian hari. Sekalipun demikian sebaiknya orang tua tidak selalu mengurangi keberanian untuk berbuat sesuatu.
2. Hukuman sebagai fungsi pendidikan
Apabila anak berbuat salah orang tua segera memberikan teguran dan memberikan penjelasan mengapa perbuatan tersebut salah. Kemudian diberitahukan bagaimana seharusnya perbuatan yang benar.
3. Hukuman sebagai penguat motivasi
Motivasi memegang peran penting bagi kehidupan anak terutama anak yang menginjak usia remaja. Oleh karena itu hukuman yang diberikan kepada anak dapat berfungsi untuk memperkuat motivasi untuk tidak mengulangi perbuatan yang salah itu lagi.
Syarat-syarat hukuman adalah :
Beberapa syarat hukuman yang harus diperhatikan oleh orang tua atau guru apabila hendak menjatuhkan hukuman kepada anak-anak yaitu:
Sebaiknya hukuman segera diberikan kepada anak yang membuat kesalahan dan patut mendapat hukuman. Jangan menunda-nunda waktu.
Diberikan secara konsisten. Jenis hukuman harus diberikan terhadap pelanggaran yang serupa harus diberikan secara konsisten, dalam arti untuk pelanggaran tertentu telah “persiapkan” jenis hukumannya.
Hukuman yang diberikan harus bersifat konstruktif.
Hukuman yang diberikan bersifat impresional.
Dalam memberikan hukuman harus disertai alasan.
Hukuman juga dapat dipergunakan sebagai alat mengembangkan hati nurani anak.
Hukuman diberikan pada tempat dan waktu yang tepat.
Bentuk hukuman dapat berbentuk hukuman fisik (misalnya pukulan kecil), mengisolasi anak selama beberapa waktu (misal tidak menonton acara TV yang disukai). Meskipun demikian, pemberian hukuman fisik tampaknya sudah tidak terlalu efektif, itulah sebabnya akan lebih baik dan efektif jika pemberian hukuman disertai pula penjelasan mengapa tingkah laku itu dilarang (Strommen dkk,1983).
Secara psikologis pemberian hukuman juga tidak akan merusak anak, sejauh berkaitan/seimbang dengan tingkah laku yang diberi hukuman. Pemberian hukuman yang terlalu sering juga tidak terlalu baik karena akan berakibat negative pada diri anak. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang sering menghukum anaknya mengakibatkan anak belajar pola-pola tingkah laku yang tidak sehat, seperti suka menyerang yang tidak terkontrol, tidak bisa berkomunikasi secara efektif, takut pada otoritas, menghindar dari interaksi sosial, tidak mampu mengekspresikan emosinya secara positif, merasa bersalah dan self ekteem (harga diri) rendah. Selain itu juga perkembangan sosial dan intelektualnya juga terhambat. Jika anak menjadi orang tua kelak akan menjadi orang tua yang sering menghukum anaknya. (Gordon & Gordon dalam strommen,1983).
Dengan demikian, orang tua maupun guru dalam menghukum anak-anak didiknya harus berhati-hati agar dampak negative tidak terjadi pada diri anak. Untuk anak usia sekolah, lebih baik dan lebih efektif jika disertai dengan pemberian alasan mengapa orang tua/guru menghukum anak. Jika hukuman orang tua/guru ditinjau dari sudut pandang anak tanpa alasan yang spesifik maka anak tidak akan memahami hubungan antara apa yang telah dilakukan dengan hukuman yang diperoleh atau anak juga tidak paham mengapa tingkah lakunya tidak diterima. Misalnya, mengatakan pada anak bahwa ia dihukum karena kamu “jelek/buruk”, justru akan membuat anak memiliki konsep diri/gambaran diri yang buruk.
Pendidikan Agama Di Rumah Dan Sekolah
Tak dapat disangkal bahwa perasaan keagamaan termasuk perasaan yang luhur dalam jiwa seseorang. Perasaan keagamaan menggerakkan hati seseorang agar ia lebih banyak melakukan perbuatan yang baik. Oleh kaerna itu, perlu memperkenalkan agama sejak dini pada anak-anak.
Anak mempunyai keyakinan beragama, yang diperoleh dari lingkungan keluarga ataupun sekolahnya misalnya anak-anak diajarkan memikirkan tuhan sebagai seseorang yang akan marah jika anak-anak berbuat kesalahan dan akan menghukumnya untuk dosa yang dilakukan. Di lain pihak, berbagai perayaan keagamaan dilingkungan rumah atau sekolah juga diperkenalkan pada anak, misalnya bersalam-salaman untuk saling memaafkan setiap hari raya, memperkenalkan pada anak mengenai hari besar, seperti idul fitri, natal, nyepi, waisak, serta juga memperkenalkan pada anak mengenai berbagai tempat ibadah.
Dengan mengenal konsep keagamaan, anak akan menghindari perbuatan buruk dan meningkatkan perbuatan baik. Anak akan mempunyai keyakinan bahwa dengan berbuat baik ia akan masuk surga. Demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini anak berpikir tentang konsep tuhan, surga, neraka, malaikat ataupun dosa. Pada anak SD umumnya akan mempertanyakan mengenai nilai dari ketaatan beragama seperti berdoa atau sembahyang, yang kemudian akan meningkat pada pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keyakinan beragama, seperti surga atau neraka.
Selain itu, orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim yang religius (agamis) dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
Konsistensi
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu ke pada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain
Pemberian keteladanan oleh guru dan orang tua kepada anak.
Orang tua dan guru hendaknya menjaga perilaku serta memberi contoh yang baik/ memberi keteladanan dalam menjaga disiplin dan pengamalan agama serta beribadah karena anak cenderung meniru perilaku orang yang lebih tua. Lebih-lebih orang tua dan guru harus mengarahkan anak untuk melakukan hal-hal yang baik, tetapi jika tidak diiringi dengan pemberian keteladanan dari orang tua dan guru seperti contohnya datang terlambat, melanggar rambu-rambu lalu lintas, tidak tertib dalam beribadah, maka anak cenderung akan meniru perbuatan yang tidak baik tersebut.
KESIMPULAN
Bahwa terdapat tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, yaitu : Nilai, Moral dan Sikap. Terdapat pula jenis dan tahap-tahap dalam setiap masing-masing perkembangan individu. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat membentuk membentuk nilai, moral dan sikap diri masing-masing mulai dari sejak kecil hingga dewasa. Menerapkan disiplin sejak dini, pemberian penghargaan atau hadiah, pemberian hukuman adalah salah satu dari upaya untuk membentuk konsep dari setiap individu yang diwakili oleh tiga kategori tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar