A.
Yanusa Nugroho (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 2 Januari 1960; umur 60 tahun) adalahsastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya di kenal
di kancah kesusastraan Indonesia melalui karya-karyanya antara lain cerita
pendek, cerita bersambung, dan novel. Dia adalah penggagas konsep pertunjukan
wayang kulit televisi Kalasena bersama
KiManteb
Soedharsono yang diangkat ke
layar lebar dan diputar di Glassgos University,Skotlandia.
Karya-karya
nya :
·
Bulan
Bugil Bulat (1989)
·
Cerita
di Daun Tal (1992)
·
Menggenggam
Petir (1996)
·
Segulung
Cerita Tua (2002)
·
Kuda
Kayu Bersayap (2004)
·
Tamu
dari Paris (2005)
·
Setubuh
Seribu Mawar (2013)
Cerpen yang dibukukan bersama sastrawan lain:
·
Di
dalam Kado Istimewa (1992)
·
Lampor
(1994)
·
Laki-Laki
yang Kawin dengan Peri (1995)
·
Mata
yang Indah (2001)
·
Jejak
Tanah (2002)
·
Sepi
pun Menari di Tepi Hari (2004)
·
Kurma
(2003)
·
China
Moon (2003)
·
Cerpen
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris, Diverse Lives (editor Jeanette
Lingard) (1995)
NovelSunting
·
Di
Batas Angin (2003)
·
Manyura
(2004)
·
Boma
(2005)
B.
Naskah tonil Audatul Firdaus (Kembalinya Surga Yang Hilang)
memantik pengakuan Mesir terhadap kemerdekaan Indonesia pada 10 Juni 1947.
Penyair keturunan Hadramaut kelahiran Surabaya, Ali Ahmad Baktsir, menuliskan
roman drama berisi siasat pendiri Indonesia memproklamirkan kemerdekaan di
bawah tekanan Jepang.
Tonil
empat babak ini menyebutkan nama Sukarno, M. Hatta, dan Sutan Sjahrir bersiasat
menyusun kemerdekaan saat akhir kekuasaan Jepang di Indonesia. Mereka membagi
peran, Sukarno bersikap kooperatif terhadap Jepang dan Sjahrir membentuk
organisasi perlawanan bawah tanah.
"Nama
Sukarno ditambahi nama Ahmad untuk mendekatkan dengan pembaca di Mesir.
Sedangkan Sjahrir dan Hatta adalah nama arab, sudah cukup familiar," ucap
Direktur Eksekutif Nabiel A. Karim Hayaze' di sela Seminar Festival Hadhrami di
Universitas Indonesia (UI), Rabu (25/4/2018).
Nabiel
tengah menerjemahkan naskah tonil ini. Menurutnya Baktsir melakukan kerja keras
menyusun Audatul Firdaus. Kala itu, informasi mendapatkan gerakan politik dan
proklamasi di Indonesia tak gampang
Jepang
menekan agar siaran proklamasi tak mengudara ke negara lain. Media di Mesir
mendapatkan siaran melalui Arab Press Broadcasting (APB) dan radio gelap.
Sedangkan media cetak masih memberitakan secara sepenggal-sepengal. Bakstir
yang memiliki ikatan kuat dengan kota kelahirannya, Surabaya, mengumpulkan
data-data ini dan menyulapnya menjadi sandiwara tonil.
"Ia
selalu terkenang dengan Surabaya, iklim pantainya, teman-temannya, dan ibu yang
dicintainya dari Surabaya. Makanya ia memiliki ikatan dan membuat karya ini
dengan susah payah," terang Nabiel.
Baktsir
lahir pada 21 desember 1910 di Surabaya dari keturunan Hadhramaut. Ayahnya
bernama Ahmad Baktsir dan ibunya, Nur Bobsaid, asal Surabaya. Pergaulan masa
kecil mempertemukannya dengan Abdurrahman Baswedan yang lahir di kota Surabaya.
Pada usia 10 tahun, ayahnya mengirim Baktsir ke Hadhramaut untuk belajar agama di Madrasah An Nadhah al Ilmiyah. Kemampuan sastranya berkembang pesat dan sanggup menyusun syair sendiri pada usia 13 tahun. Ia sempat hijrah ke Aden dan Arab Saudi sebelum berlabuh di Fuad University (sekarang Universitas Kairo).
Pada usia 10 tahun, ayahnya mengirim Baktsir ke Hadhramaut untuk belajar agama di Madrasah An Nadhah al Ilmiyah. Kemampuan sastranya berkembang pesat dan sanggup menyusun syair sendiri pada usia 13 tahun. Ia sempat hijrah ke Aden dan Arab Saudi sebelum berlabuh di Fuad University (sekarang Universitas Kairo).
"Di Mesir
ini karya sastranya benar-benar berkembang, ia menuai prestasi dengan berbagai
penghargaan dan karya sastranya selalu dimuat oleh media di Mesir," tutur
Nabiel.
C.
Budi Darma lahir di (lahir di Rembang, 25 April1937; umur 82 tahun) adalah guru besar di FPBS Universitas
Negeri Surabaya (dulu IKIP Surabaya).[1] Dia merupakan putra keempat dari enam
bersaudara yang semuanya laki-laki. Ayahnya merupakan pegawai kantor pos, yang
oleh karena penugasan, tempat tugas sang ayah selalu berpindah-pindah dari kota
yang satu ke kota yang lainnya. Dengan demikian, seluruh keluarga turut
berpindah.[2]
Ia baru merasa
benar-benar menulis sejak tahun 1968. Tulisan-tulisannya berupa cerpen,novel, esai,
atau makalah-makalah untuk berbagai pertemuan. Selain antologi cerpenKritikus Adinan, hingga kini sedikitnya delapan
bukunya telah terbit, yakni meliputi tiga buah novel; Olenka (1983),Raflus (1998),dan Ny.
Talis (1996); satu
kumpulan cerpen, Orang-Orang Bloomington (1981); tiga kumpulan esai: Solilokui (1983), Sejumlah Esai Sastra(1984), dan Harmonuium (1995);serta satu karya terjemahan.[1]
Novel Budi Darma
yang pertama adalahOlenka, novel yang telah banyak
mendapat perhatian dan telah mengantarkannya ke berbagai upacara pemberian
hadiah. Rafilusadalah novel keduanya. Novel ini mulai
ditulisnya ketika dia mendapat undangan untuk mengunjungi Inggris pada tahun
1985. Meskipun peristiwa-peristiwa dalam Rafilusterjadi di Surabaya, dia berhasil mengungkapkan
segi-segi gelap kehidupan manusia pada umumnya. Dia lebih banyak mengamati
masalah manusia sebagai gejala umum, bukan semata sebagai produk gejala sosial.
D.
Muhammad Ali (1927—1998) Pengarang Muhammad
Ali mempunyai nama lengkap Muhammad Ali Maricar. Dia dikenal sebagai pengarang
cerita pendek, novel, dan naskah drama. Ia juga menulis sajak, esai, dan
terjemahan. Dia lahir pada tanggal 23 April 1927 di kampung Ketapang, Ampel,
Surabaya, Jawa Timur, dan meninggal di kota yang sama, 2 Juni 1998. Sampai saat
meninggalnya ia masih menetap di pinggiran kota Surabaya itu dengan alamat
Manukan Rejo V/11, Surabaya 60185. Krisdinanto (1995) mengemukakan bahwa Ali
hanyalah seorang pengarang yang memilih tinggal di pinggiran kota Surabaya jauh
dari kegiatan politik, ekonomi, dan budaya. Dia pernah berkelana dan tinggal di
kampung-kampung kumuh dari Jatipurwo sampai ke Nyamplungan. Agama yang
dianutnya adalah agama Islam. Dia menikah dengan Aminah, wanita Jawa Timur,
tahun 1950 dan mereka mempunyai delapan orang anak. Ayahnya, Ahmad, adalah
keturunan India (1900) juga beragama Islam dan ibunya, Hawabi, adalah kelahiran
Surabaya (1905) peranakan Indonesia-India. Sekolah dasar yang ditempuhnya
adalah sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Belanda untuk keturunan
Arab-Belanda (GHAS) dan tamat tahun 1936. Selanjutnya, pendidikan formal
tertinggi yang diperolehnya adalah sekolah menengah pertama (MULO) tahun 1941,
tetapi tidak tamat. Dia mengikuti kursus pada Keimin Bunka Shidhoso (Kantor
Pusat Kebudayaan, pada zaman pendudukan Jepang) dan belajar bahasa Inggris dan
Belanda. Pekerjaan pokok yang ditekuninya adalah sebagai sastrawan dan
wartawan. Dia pernah mengasuh beberapa majalah, antara lain, tahun 1947—1949
sebagai redaksi majalah Mingguan Pahlawan terbitan Batalyon 33, Devisi I,
Tentara Rakyat Indonesia (TRI), Surabaya; tahun 1950—1951, sebagai redaksi
majalah republiken Mimbar Pemuda, Surabaya; dan tahun 1952—1953 sebagai redaksi
majalah sastra Tjetusan, Surabaya. Kegiatannya dalam organisasi kesenian,
antara lain, adalah 1952—1956 sebagai anggota Gabungan Sastrawan Muda Surabaya,
1972—1976 sebagai anggota Dewan Kesenian Surabaya, 1976—1978 sebagai Ketua
Dewan Kesenian Surabaya, 1978—1979 sebagai anggota Majelis Kehormatan Pembina
Kesenian Surabaya dan sebagai koordinator acara Siaran Apresiasi Sastra
Indonesia di TVRI Stasiun Surabaya. Tahun 1974 ia pernah bekerja di kantor
Kotapraja Surabaya membantu Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, sebagai penyunting
bahasa. Tahun 1978--1982 ia juga diangkat sebagai dosen tamu pada Fakultas
Sastra, Universitas Jember. Dia mulai menulis cerita pendek dan puisi tahun
1942 dalam beberapa majalah terbitan Jakarta dan Surabaya, antara lain Gema Suasana,
Mimbar Indonesia, Siasat, Gelanggang, Zenith, Poedjangga Baru, Konfrontasi,
Kisah, Budaja, Indonesia, Gema Suasana, Budaja Djaja, Horison, Seni, Buku Kita,
dan Optimis. Dia juga menulis di harian Jakarta, Surabaya, Yogya, Semarang,
Padang, dan Medan, antara lain dalam harian Berita Buana, Kompas, Sinar
Harapan, Kedaulatan Rakyat, Suara Karya, Surabaya Post, Jawa Pos, Singgalang,
dan Waspada. Karangannya yang sudah diterbitkan berupa buku, antara lain adalah
(1) 5 Tragedi (1951, Surabaya:Balai Buku), (2) Siksa dan Bajangan (1955,
Surabaya: Balai Buku), (3) Persetudjuan dengan Iblis (novel, 1955, Surabaya:
Balai Buku), (4) Kubur Tak Bertanda (1955, Surabaya: S. Alaydrus & Son dan
Garuda), (5) Hitam atas Putih (1959, Jakarta: Balai Pustaka), (6) Si Gila
(drama), 1969, (7) Kembali kepada Fitrah (drama), 1969, (8) Bintang Dini
(kumpulan sajak), 1975, (9) Buku Harian Seorang Penganggur (kumpulan cerita
pendek, 1976), dan (10) Ibu Kita Raminten (novel, 1982), dan Qdiamat. Di
samping menulis karya sastra, ia juga menulis karya nonfiksi, antara lain (1)
Laporan Rahasia dari Belakang Tirai Besi, 1960, Surabaya: Pustaka Progresif,
(2) Di Bawah Naungan Al-Qur'an, 1955 (8 jilid), Surabaya: Pustaka Progresif,
(3) Izinkanlah Saya Bicara, 1977, kumpulan esai, Surabaya: Pustaka Progresif,
(4) Tuntutan Mengarang Cerpen, 1979, (5) Buku Agama (30 judul) 1980--1995 oleh
penerbit Bungkul Indah, Surabaya, (6) Wanita Berlisan Suci, 1989, Bandung:
Mizan, (7) Ihwal Dunia Sastra, 1990, Surabaya: Bina Ilmu, (8) Nyanyian Burdah, 1980,
(9) Puitisasi Juz Amma, 1983, dan (10) Bagaimana Menjadi Aktor Aktris yang
Baik. Karya sastra asing yang pernah diterjemahkannya, antara lain, adalah (1)
Tortila Flat karya John Steinbeck dalam majalah Gelanggang, (2) Ular karya
William Sarojan dalam majalah Gelanggang, (3) Mahkota Berdarah karya Musthafa
Luthfi Al-Manfaluthi, diterbitkan dalam harian Surabaya Post, 1995. Karangan
yang sudah diterjemahkan ke bahasa asing, antara lain, adalah (1) Gerhana
dengan judul baru Kiki diterjemahkan ke bahasa Jepang oleh Prof. Matsui Hiroshi
dan Prof. Shibata, penerbit Mekong, Jepang, (2) Kisah dari Kantor Pos
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Satyagraha Hoerip. Muhamad Ali dapat
digolongkan ke dalam kelompok sastrawan penganut paham realisme. Sebagaimana
diungkapkan oleh Sunyoto (1988), rupanya atmosfir Surabaya telah membentuk
pribadinya sebagai seorang pengarang yang realistis, cinta, keterusterangan,
dan kejujuran, serta menghormati keberanian. Hal itu selalu terungkap dalam
sentuhan karya-karyanya yang mengupas masalah kehidupan keseharian yang terkait
dengan masalah sosial. Muhamad Ali dengan karya-karyanya yang realistik itu
membuktikan bahwa betapa ia dengan kelugasan dan kejujuran serta keberanian
mengungkapkan realitas hidup orang-orang di sekitarnya. Pengalamannya bergaul
dengan orang-orang yang kehidupan ekonominya tidak baik banyak mempengaruhi
karya-karyanya sejak ia mulai menulis. Salah satu sandiwaranya mengenai
kehidupan orang-orang lapar berjudul "Lapar" mendorong H.B. Jassin untuk
menjulukinya sebagai "pengarang lapar". Hak Cipta © 2020 Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar