Minggu, 08 Maret 2020

KUMPULAN SASTRAWAN ASAL SURABAYA


A.       Yanusa Nugroho (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 2 Januari 1960; umur 60 tahun) adalahsastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya di kenal di kancah kesusastraan Indonesia melalui karya-karyanya antara lain cerita pendek, cerita bersambung, dan novel. Dia adalah penggagas konsep pertunjukan wayang kulit televisi Kalasena bersama KiManteb Soedharsono yang diangkat ke layar lebar dan diputar di Glassgos University,Skotlandia.
Karya-karya nya :
·         Bulan Bugil Bulat (1989)
·         Cerita di Daun Tal (1992)
·         Menggenggam Petir (1996)
·         Segulung Cerita Tua (2002)
·         Kuda Kayu Bersayap (2004)
·         Tamu dari Paris (2005)
·         Setubuh Seribu Mawar (2013)
Cerpen yang dibukukan bersama sastrawan lain:
·         Di dalam Kado Istimewa (1992)
·         Lampor (1994)
·         Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995)
·         Mata yang Indah (2001)
·         Jejak Tanah (2002)
·         Sepi pun Menari di Tepi Hari (2004)
·         Kurma (2003)
·         China Moon (2003)
·         Cerpen yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris, Diverse Lives (editor Jeanette Lingard) (1995)

NovelSunting

·         Di Batas Angin (2003)
·         Manyura (2004)
·         Boma (2005)


B.     Naskah tonil Audatul Firdaus (Kembalinya Surga Yang Hilang) memantik pengakuan Mesir terhadap kemerdekaan Indonesia pada 10 Juni 1947. Penyair keturunan Hadramaut kelahiran Surabaya, Ali Ahmad Baktsir, menuliskan roman drama berisi siasat pendiri Indonesia memproklamirkan kemerdekaan di bawah tekanan Jepang.
Tonil empat babak ini menyebutkan nama Sukarno, M. Hatta, dan Sutan Sjahrir bersiasat menyusun kemerdekaan saat akhir kekuasaan Jepang di Indonesia. Mereka membagi peran, Sukarno bersikap kooperatif terhadap Jepang dan Sjahrir membentuk organisasi perlawanan bawah tanah.
"Nama Sukarno ditambahi nama Ahmad untuk mendekatkan dengan pembaca di Mesir. Sedangkan Sjahrir dan Hatta adalah nama arab, sudah cukup familiar," ucap Direktur Eksekutif Nabiel A. Karim Hayaze' di sela Seminar Festival Hadhrami di Universitas Indonesia (UI), Rabu (25/4/2018).
Nabiel tengah menerjemahkan naskah tonil ini. Menurutnya Baktsir melakukan kerja keras menyusun Audatul Firdaus. Kala itu, informasi mendapatkan gerakan politik dan proklamasi di Indonesia tak gampang
Jepang menekan agar siaran proklamasi tak mengudara ke negara lain. Media di Mesir mendapatkan siaran melalui Arab Press Broadcasting (APB) dan radio gelap. Sedangkan media cetak masih memberitakan secara sepenggal-sepengal. Bakstir yang memiliki ikatan kuat dengan kota kelahirannya, Surabaya, mengumpulkan data-data ini dan menyulapnya menjadi sandiwara tonil.
"Ia selalu terkenang dengan Surabaya, iklim pantainya, teman-temannya, dan ibu yang dicintainya dari Surabaya. Makanya ia memiliki ikatan dan membuat karya ini dengan susah payah," terang Nabiel.
Baktsir lahir pada 21 desember 1910 di Surabaya dari keturunan Hadhramaut. Ayahnya bernama Ahmad Baktsir dan ibunya, Nur Bobsaid, asal Surabaya. Pergaulan masa kecil mempertemukannya dengan Abdurrahman Baswedan yang lahir di kota Surabaya. 

Pada usia 10 tahun, ayahnya mengirim Baktsir ke Hadhramaut untuk belajar agama di Madrasah An Nadhah al Ilmiyah. Kemampuan sastranya berkembang pesat dan sanggup menyusun syair sendiri pada usia 13 tahun. Ia sempat hijrah ke Aden dan Arab Saudi sebelum berlabuh di Fuad University (sekarang Universitas Kairo).
"Di Mesir ini karya sastranya benar-benar berkembang, ia menuai prestasi dengan berbagai penghargaan dan karya sastranya selalu dimuat oleh media di Mesir," tutur Nabiel. 



C.       Budi Darma lahir di (lahir di Rembang, 25 April1937; umur 82 tahun) adalah guru besar di FPBS Universitas Negeri Surabaya (dulu IKIP Surabaya).[1] Dia merupakan putra keempat dari enam bersaudara yang semuanya laki-laki. Ayahnya merupakan pegawai kantor pos, yang oleh karena penugasan, tempat tugas sang ayah selalu berpindah-pindah dari kota yang satu ke kota yang lainnya. Dengan demikian, seluruh keluarga turut berpindah.[2]
Ia baru merasa benar-benar menulis sejak tahun 1968. Tulisan-tulisannya berupa cerpen,novel, esai, atau makalah-makalah untuk berbagai pertemuan. Selain antologi cerpenKritikus Adinan, hingga kini sedikitnya delapan bukunya telah terbit, yakni meliputi tiga buah novel; Olenka (1983),Raflus (1998),dan Ny. Talis (1996); satu kumpulan cerpen, Orang-Orang Bloomington (1981); tiga kumpulan esai: Solilokui (1983), Sejumlah Esai Sastra(1984), dan Harmonuium (1995);serta satu karya terjemahan.[1]
Novel Budi Darma yang pertama adalahOlenka, novel yang telah banyak mendapat perhatian dan telah mengantarkannya ke berbagai upacara pemberian hadiah. Rafilusadalah novel keduanya. Novel ini mulai ditulisnya ketika dia mendapat undangan untuk mengunjungi Inggris pada tahun 1985. Meskipun peristiwa-peristiwa dalam Rafilusterjadi di Surabaya, dia berhasil mengungkapkan segi-segi gelap kehidupan manusia pada umumnya. Dia lebih banyak mengamati masalah manusia sebagai gejala umum, bukan semata sebagai produk gejala sosial.



D.    Muhammad Ali (1927—1998) Pengarang Muhammad Ali mempunyai nama lengkap Muhammad Ali Maricar. Dia dikenal sebagai pengarang cerita pendek, novel, dan naskah drama. Ia juga menulis sajak, esai, dan terjemahan. Dia lahir pada tanggal 23 April 1927 di kampung Ketapang, Ampel, Surabaya, Jawa Timur, dan meninggal di kota yang sama, 2 Juni 1998. Sampai saat meninggalnya ia masih menetap di pinggiran kota Surabaya itu dengan alamat Manukan Rejo V/11, Surabaya 60185. Krisdinanto (1995) mengemukakan bahwa Ali hanyalah seorang pengarang yang memilih tinggal di pinggiran kota Surabaya jauh dari kegiatan politik, ekonomi, dan budaya. Dia pernah berkelana dan tinggal di kampung-kampung kumuh dari Jatipurwo sampai ke Nyamplungan. Agama yang dianutnya adalah agama Islam. Dia menikah dengan Aminah, wanita Jawa Timur, tahun 1950 dan mereka mempunyai delapan orang anak. Ayahnya, Ahmad, adalah keturunan India (1900) juga beragama Islam dan ibunya, Hawabi, adalah kelahiran Surabaya (1905) peranakan Indonesia-India. Sekolah dasar yang ditempuhnya adalah sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Belanda untuk keturunan Arab-Belanda (GHAS) dan tamat tahun 1936. Selanjutnya, pendidikan formal tertinggi yang diperolehnya adalah sekolah menengah pertama (MULO) tahun 1941, tetapi tidak tamat. Dia mengikuti kursus pada Keimin Bunka Shidhoso (Kantor Pusat Kebudayaan, pada zaman pendudukan Jepang) dan belajar bahasa Inggris dan Belanda. Pekerjaan pokok yang ditekuninya adalah sebagai sastrawan dan wartawan. Dia pernah mengasuh beberapa majalah, antara lain, tahun 1947—1949 sebagai redaksi majalah Mingguan Pahlawan terbitan Batalyon 33, Devisi I, Tentara Rakyat Indonesia (TRI), Surabaya; tahun 1950—1951, sebagai redaksi majalah republiken Mimbar Pemuda, Surabaya; dan tahun 1952—1953 sebagai redaksi majalah sastra Tjetusan, Surabaya. Kegiatannya dalam organisasi kesenian, antara lain, adalah 1952—1956 sebagai anggota Gabungan Sastrawan Muda Surabaya, 1972—1976 sebagai anggota Dewan Kesenian Surabaya, 1976—1978 sebagai Ketua Dewan Kesenian Surabaya, 1978—1979 sebagai anggota Majelis Kehormatan Pembina Kesenian Surabaya dan sebagai koordinator acara Siaran Apresiasi Sastra Indonesia di TVRI Stasiun Surabaya. Tahun 1974 ia pernah bekerja di kantor Kotapraja Surabaya membantu Penerbit Bina Ilmu, Surabaya, sebagai penyunting bahasa. Tahun 1978--1982 ia juga diangkat sebagai dosen tamu pada Fakultas Sastra, Universitas Jember. Dia mulai menulis cerita pendek dan puisi tahun 1942 dalam beberapa majalah terbitan Jakarta dan Surabaya, antara lain Gema Suasana, Mimbar Indonesia, Siasat, Gelanggang, Zenith, Poedjangga Baru, Konfrontasi, Kisah, Budaja, Indonesia, Gema Suasana, Budaja Djaja, Horison, Seni, Buku Kita, dan Optimis. Dia juga menulis di harian Jakarta, Surabaya, Yogya, Semarang, Padang, dan Medan, antara lain dalam harian Berita Buana, Kompas, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, Suara Karya, Surabaya Post, Jawa Pos, Singgalang, dan Waspada. Karangannya yang sudah diterbitkan berupa buku, antara lain adalah (1) 5 Tragedi (1951, Surabaya:Balai Buku), (2) Siksa dan Bajangan (1955, Surabaya: Balai Buku), (3) Persetudjuan dengan Iblis (novel, 1955, Surabaya: Balai Buku), (4) Kubur Tak Bertanda (1955, Surabaya: S. Alaydrus & Son dan Garuda), (5) Hitam atas Putih (1959, Jakarta: Balai Pustaka), (6) Si Gila (drama), 1969, (7) Kembali kepada Fitrah (drama), 1969, (8) Bintang Dini (kumpulan sajak), 1975, (9) Buku Harian Seorang Penganggur (kumpulan cerita pendek, 1976), dan (10) Ibu Kita Raminten (novel, 1982), dan Qdiamat. Di samping menulis karya sastra, ia juga menulis karya nonfiksi, antara lain (1) Laporan Rahasia dari Belakang Tirai Besi, 1960, Surabaya: Pustaka Progresif, (2) Di Bawah Naungan Al-Qur'an, 1955 (8 jilid), Surabaya: Pustaka Progresif, (3) Izinkanlah Saya Bicara, 1977, kumpulan esai, Surabaya: Pustaka Progresif, (4) Tuntutan Mengarang Cerpen, 1979, (5) Buku Agama (30 judul) 1980--1995 oleh penerbit Bungkul Indah, Surabaya, (6) Wanita Berlisan Suci, 1989, Bandung: Mizan, (7) Ihwal Dunia Sastra, 1990, Surabaya: Bina Ilmu, (8) Nyanyian Burdah, 1980, (9) Puitisasi Juz Amma, 1983, dan (10) Bagaimana Menjadi Aktor Aktris yang Baik. Karya sastra asing yang pernah diterjemahkannya, antara lain, adalah (1) Tortila Flat karya John Steinbeck dalam majalah Gelanggang, (2) Ular karya William Sarojan dalam majalah Gelanggang, (3) Mahkota Berdarah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi, diterbitkan dalam harian Surabaya Post, 1995. Karangan yang sudah diterjemahkan ke bahasa asing, antara lain, adalah (1) Gerhana dengan judul baru Kiki diterjemahkan ke bahasa Jepang oleh Prof. Matsui Hiroshi dan Prof. Shibata, penerbit Mekong, Jepang, (2) Kisah dari Kantor Pos diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Satyagraha Hoerip. Muhamad Ali dapat digolongkan ke dalam kelompok sastrawan penganut paham realisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Sunyoto (1988), rupanya atmosfir Surabaya telah membentuk pribadinya sebagai seorang pengarang yang realistis, cinta, keterusterangan, dan kejujuran, serta menghormati keberanian. Hal itu selalu terungkap dalam sentuhan karya-karyanya yang mengupas masalah kehidupan keseharian yang terkait dengan masalah sosial. Muhamad Ali dengan karya-karyanya yang realistik itu membuktikan bahwa betapa ia dengan kelugasan dan kejujuran serta keberanian mengungkapkan realitas hidup orang-orang di sekitarnya. Pengalamannya bergaul dengan orang-orang yang kehidupan ekonominya tidak baik banyak mempengaruhi karya-karyanya sejak ia mulai menulis. Salah satu sandiwaranya mengenai kehidupan orang-orang lapar berjudul "Lapar" mendorong H.B. Jassin untuk menjulukinya sebagai "pengarang lapar". Hak Cipta © 2020 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

D'Paragon, Kost Eksklusif yang Cocok untuk Kuliah dan WFH

 Bagi mahasiswa dan profesional muda yang membutuhkan tempat tinggal nyaman, tenang, dan modern, D'Paragon adalah pilihan yang tepat. Di...